Monday, June 22, 2020

Sigap Hadapi Ancaman Karhutla di Masa Pandemi

Beberapa hari terakhir hujan sudah enggan datang, kemarau tampak semakin dekat atau bahkan sebenarnya sudah sampai. Panas yang begitu terik membuat gerah seharian. Tanah perlahan menjadi kering karena lama tidak terjamah hujan sehingga banyak debu berterbangan tersapu oleh angin. Debu yang berterbangan di udara sangat rentan mengandung kuman penyakit dan berpotensi menimbulkan gangguan pernafasan. Apalagi di masa pandemi covid19, harus lebih waspada lagi dalam menjaga kesehatan.

Kebiasaan rutin memakai masker saat berada di luar rumah ini sangatlah dianjurkan demi kebaikan diri sendiri dan juga orang lain di sekitar. Apalagi memasuki musim kemarau dengan tingkat polusi udara yang lebih tinggi dibandingkan musim penghujan. Menyambut kedatangan kemarau, banyak sekali yang sudah saya persiapkan. Terlebih lagi di musim pandemi seperti sekarang ini semuanya memang sudah harus diantisipasi. Kedatangan kemarau yang selalu penuh dengan permasalahan dasar mengenai kekeringan, susahnya mendapatkan air bersih, serta masalah yang lebih serius lagi mengenai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tentunya semakin memperburuk kualitas udara.

Baca juga:

Bersinergi mewujudkanpelestarian #airuntukKehidupan di masa pandemi

Menolak lupa sejarah Karhutla terburuk di Indonesia

Karhutla selalu menjadi langganan terjadi tiap tahun di beberapa daerah di Indonesia. Masih terlekat kuat di ingatan, Karhutla yang terjadi tahun lalu di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat menyebabkan banyak saudara kita yang terdampak asap karhutla, terutama akibat kebakaran lahan gambut. Tercatat data Kementrian Kesehatan hingga September 2019 sebanyak hampir 150 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Area hutan dan lahan yang terbakar per Agustus 2019 mencapai 135,7 ha dan paling banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Sejarah Karhutla terburuk terjadi pada tahun 1997 dan 2015. Luas area terbakar mencapai 9.75 juta ha pada tahun 1997 dan 2.6 juta ha yang sama dengan 32 kali luas Jakarta pada tahun 2015. Melihat data area kebakaran hutan, sebenarnya telah terjadi penurunan area karhutla dari tahun 2018 ke tahun 2019 disertai dengan penurunan titik api.

Update data terbaru berdasarkan pantauan satelit Terra/Aqua KLHK RI sampai dengaan 11 Juni 2020 terpantau sebanyak 731 titik api di seluruh Indonesia. Ibu Anis Aliati sebagai Kasubdit Pencegahan Karhutla Direktorat PKHL, Ditjen Perubahan Iklim, KLHK, menyampaikan saat Talkshow Perubahan Iklim Episode 3 bersama KBR, bahwa pada periode yang sama tahun 2019 terdapat 1.066 titik api. Hal ini berarti telah terjadi penurunan titik api sebesar 31,43%. 

Penurunan ini menjadi berita yang menggembirakan untuk masyarakat Indonesia dan tentunya tidak lepas dari usaha tanpa kenal lelah para satgas Karhutla dalam melakukan langkah-langkah pencegahan. Satgas Karhutla dibentuk di tiap daerah yang diketuai oleh Gubernur dan terdiri dari instansi-instansi pemerintah seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah, KLHK, TNI Polri, Manggala Agni, Bintara Pembina Desa (Babinsa) serta instansi lainnya.

Bagaimana Karhutla bisa terjadi?

Sepengetahuan saya, Karhutla terjadi akibat aktivitas pembukaan lahan untuk berbagi kepentingan dengan cara pembakaran yang tidak tekendali. Hal ini mengakibatkan tidak hanya lahan yang ditargetkan saja yang terbakar, namun merembat ke lahan sekitarnya dan terjadilah kebakaran dalam skala besar yang kemudian disebut dengan karhutla.

Ancaman terjadinya Karhutla meningkat pada musim kemarau. Berdasarkan informasi dari Ibu Dwikorita selaku Kepala BMKG, tahun ini Indonesia mengalami El-Nino netral dengan kekeringan pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan normal. Perlu untuk lebih waspada lagi menyikapi ancaman Karhutla tentunya dengan meningkatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah namun pihak industri dan juga masyarakat.

Berdasarkan informasi dari BMKG, perkiraan daerah yang mengalami kemarau lebih kering dari normal dengan indicator curah hujan relatif di bawah normal termasuk daerah rawan Karhutla, meliputi sebagian wilayah Lampung, beberapa wilayah Sumatera Selatan dan Riau bagian Utara. Potensi Karhutla harus lebih diwaspadai terutama untuk bulan Juni-Agustus.

Seberapa besar dampak yang ditimbulkan akibat Karhutla?

Dampak karhutla sangatlah besar dan tidak bisa dianggap remeh. Karhutla yang terjadi memberikan dampak buruk tidak hanya pada lingkungan yang rusak, pencemaran udara akibat asap pembakaran, namun juga ekonomi dan tentunya kesehatan.

Menyebabkan Penurunan Kualitas Udara

Akibat asap Karhutla, tercatat pada bulan September 2019 kualitas udara di Palangka Raya menurun sampai level “Hazardous” atau berbahaya dengan indeks kualitas udara mencapai 480, jauh dari batas aman yakni 100. Bahkan puncaknya pada 15-16 September 2019 indeks kualitas udara melampaui angka 900. Kabut asap yang begitu tebal juga membatasi jarak pandang dan menyebabkan iritasi pada mata. Tidak hanya kota Palangka Raya, indeks kualitas udara di Pekanbaru juga mencapai 489. Hal ini berarti kandungan partikel dan gas-gas polusi telah jauh lebih banyak daripada udara yang bersih atau sehat.

Indeks kualitas udara yang melebihi 300 memiliki kandungan oksigen jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan udara sehat. Selain efek dari kandungan bahan polutan yang ada di udara tercemar, turunnya kualitas oksigen tentunya sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Indeks kualitas udara ini dihitung berdasarkan pengukuran partikulat halus, ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2) dan emisi Karbon Monoksida (CO).

Nah, kualitas udara juga diukur dengan menghitung partikel halus, yaitu PM2,5 (ukuran partikel 2,5 mikron) dan PM10 (ukuran partikel 10 mikron). Menurut data dari airvisual, pada 13 September 2019, terdeteksi konsentrasi PM2,5 di Palangka Raya mencapai 1200 mikrogram/meter kubik atau setara dengan menghisap sekitar 54 batang rokok. Bisa dibayangkan setebal apa kan ya asapnya, seram sekali membayangkan saja. Implikasi negatif dari Karhutla lainnya adalah kenaikan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan munculnya gas beracun, seperti hydrogen, furan dan juga sianida.

Menyebabkan Masalah Kesehatan Khususnya Pada Masyarakat di Daerah Terdampak

Penurunan kualitas udara akibat Karhutla tentunya sangat memberikan dampak buruk pada masalah kesehatan khususnya pada masyarakat yang tinggal di daerah terdampak. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang ini, udara yang tidak bersih meningkatkan resiko untuk terpapar virus covid19. Karhutla sangat mengancam kesehatan masyarakat khususnya yang memiliki riwayat sakit pernafasan.

Paparan terhadap asap Karhutla dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru meskipun sebenarnya efek tersebut bisa pulih kembali. Jangka pendeknya, asap Karhutla menyebabkan ISPA sedangkan untuk jangka panjang bisa menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), menurunkan kecerdasan otak serta menghambat kinerja jantung. Masyarakat yang beresiko tinggi pada Karhutla yaitu sama dengan masyarakat beresiko tinggi pada Covid-19, yaitu anak-anak, ibu hamil serta lansia yang sudah memilki riwayat penyakit kronis seperti asma, stroke, kanker paru dan penyakit jantung koroner. Nah di masa pandemi seperti sekarang ini, kondisi pasien dalam pengawasan covid-19 akan menjadi semakin parah jika berada di daerah yang terdampak asap Karhutla.

Apakah antisipasi yang bisa dilakukan untuk menghadapi ancaman karhutla di masa pandemi?

Melihat penurunan titik api yang tercatat periode Juni tahun ini menjadi bukti usaha Pemerintah yang tidak tinggal diam menghadapi ancaman Karhutla di masa pandemi seperti sekarang ini. Seperti yang dilakukan oleh Satgas Karhutla terus melakukan pencegahan dan penanganan Karhutla dengan tetap memperhatikan protocol kesehatan covid-19. Berikut ini lima langkah antisipasi yang bisa dilakukan untuk menghadapi ancaman karhutla di masa pandemi, yuk simak lebih lanjut ~ 

1. Mengoptimalkan Pemantauan Titik Api 

Satgas Karhutla memilki tugas utama dalam mencegah terjadinya karhutla. Manggala Agni adalah garda terdepan yang bertugas dalam penanggulangan karhutla di lapangan dan sigap melakukan pemeriksaan jika terpantau ada titik api di satelit Terra.

Manggala Agni merupakan brigade pengendalian kebakaran hutan Indonesia yang dibentuk oleh Department Kehutanan pada tahun 2003. Manggala Agni dibentuk dengan tujuan khusus untuk melaksanakan tugas pengendalian kebakaran hutan yang kegiatannya meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kabakaran hutan. Di masa pandemi covid 19, Manggala Agni bertugas sesuai dengan tatanan normal baru dan protokol kesehatan covid19.

Adanya pemantauan titik api yang optimal diharapkan bisa segera dipadamkan atau dikendalikan sehingga titik api tidak sampai membesar dan terhindar dari kebakaran. Terutama untuk lahan-lahan gambut karena upaya pemadaman lahan gambut menjadi lebih sulit karena karakter lahan gambut yang mudah terbakar.

2. Aktif Melakukan Patroli, Kampanye, Sosialisasi dan Pemadaman

Satgas Karhutla tetap melakukan patroli terpadu, patrol mandiri, kampanye, sosialiasi serta pemadaman dengan selalu memperhatikan protokol kesehatan covid19. Patroli terpadu dilakukan bersama-sama oleh Manggala Agni, KLHK, TNI Polri, Babinsa dan juga masyarakat. Sementara patrol mandiri hanya dilakukan oleh personel Manggala Agni. Ibu Anis dari KLHK menyampaikan bahwa di beberapa tempat Manggala Agni juga aktif melakukan penyemprotan disinfektan organic buatan sendiri dari cuka kayu. Selain itu, Manggala Agni juga memberikan bantuan alat pencegahan covid-19 pada masyarakat berupa hand sanitizer dan masker.

Sosialisasi pada masyarakat juga gencar dilakukan KLHK melalui berbagai media cetak dan online. KLHK terus berupaya melakukan penyadartahuan kepada masyarakat melalui kegiatan pembinaan rohani dengan menggangeng pemuka agama ataupun melalui kegiatan sosial tentang pencegahan karhutla, terutama di wilayah-wilayah yang rawan terjadi karhutla.

3. Melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca Menghadapi Musim Kemarau

Teknologi modifikasi cuaca dalam rangka menghadapi musim kemarau sudah dilakukan oleh KLHK bersama BPPT, TNI AU, mitra kerja usaha serta didukung data iklim dari BMKG. Teknologi modifikasi cuaca dilakukan pada wilayah-wilayah yang akan memasuki musim kemarau untuk memperpanjang bulan basahnya. Modifikasi ini sudah dilakukan di Riau selama 15 hari. Modifikasi cuaca juga dilakukan di wilayah Sumatera Selatan dan Jambi.

4. Melakukan Penegakan Hukum pada Pelaku Karhutla

Sanksi untuk para pelaku Karhutla sudah diterapkan, baik sanksi andministrasi, sanksi perdata ataupun sanksi pidana. Pak Bambang dari Fakultas Perhutanan IPB juga menyampaikan bahwa penegakan hukum pada para pelaku Karhutla ini sebagai salah satu upaya untuk mencegah kerusakan-kerusakan lainnya, seperti peningkatan emisi gas rumah kaca dan penurunan kualitas kesehatan masyarakat terdampak asap karhutla. Penegakan hukum juga menjadi bukti bahwa Indonesia tidak melegalkan perilaku pembakaran lahan yang tidak terkendali. 

5. Partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga lingkungan dan menerapkan pola hidup sehat

Partisipasi aktif masyarakat juga sangat berperan dalam mengantisipasi ancaman Karhutla di masa pandemi seperti sekarang ini. Masyarakat hendaknya tidak melakukan pembakaran sampah di lahan atau hutan terutama saat angin kencang di musim kemarau karena beresiko menyebarkan kobaran api dan menyebabkan kebakaran. Masyarakat juga diharapkan tidak membuang puntung rokok sembarangan di area hutan ataupun lahan, apalagi jika masih menyala beresiko memicu terjadinya kebakaran. Masyarakat diharapkan berperan aktif melaporkan ke Satgas Karhutla setempat jika menemukan titik api berbahaya yang dapat memicu terjadinya karhutla.

Selain menjaga lingkungan dari ancaman terjadinya karhutla, dr. Feni Fitriani, Dokter Ketua Pokja Paru dan Lingkungan, menyarankan masyarakat yang tinggal di daerah terdampak Karhutla untuk menerapkan pola hidup sehat terutama dalam menjaga kesehatan paru-paru.

Lima langkah antispasi yang bisa dilakukan mulai dari patroli rutin Satgas Karhutla, penerapan teknologi modifikasi cuaca, penegakan hukum serta pasrtisipasi aktif masyarakat diharapkan mampu membuat kita lebih sigap menghadapi ancaman Karhutla ketika musim kemarau tiba, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini. Semoga antisipasi yang diusahakan juga bisa berjalan dengan baik dan kemarau di masa pandemi bisa dilalui tanpa adanya karhutla di wilayah Indonesia. Terus semangat juga menjaga kelestarian lingkungan sekitar ya. Stay healthy, stay hydrated and stay away from covid19 ~

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Kalian juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa selengkapnya lihat di sini ya. Yuk ikutaan juga, biar makin banyak yang terinspirasi untuk peduli terhadap ancaman Karhutla saat musim kemarau di masa pandemi seperti sekarang ini #hutandanudara.

Referensi:

Abdi, Alfian Putra. 2019. Cerita Warga Menanggung Penyakit Akibat Asap Karhutla. https://tirto.id/cerita-warga-menanggung-penyakit-akibat-asap-karhutla-ejrq. Diakses tanggal 20 Juni 2020

Anugerah, Pijar. 2019. Kebakaran hutan: Pakar kesehatan peringatkan kualitas udara ‘sangat berbahaya’ akibat asap. https://www.bbc.com/indonesia/amp/majalah-49738855  Diakses tanggal 20 Juni 2020.

Arumningtyas, Lusi. 2020. Kemarau Datang, Waspada Kebakaran Hutan di Masa Pandemi. https://www.mongabay.co.id/2020/05/11/kemarau-datang-waspada-kebakaran-hutan-di-masa-pandemi/. Diakses tanggal 21 Juni 2020.

Kurnia, Alfa. 2020. Kemarau dan Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi. https://ibuibudoyannulis.com/alfakurnia/kemarau-dan-ancaman-karhutla-di-tengah-pandemi/ Diakses tanggal 20 Juni 2020

Talkshow Kemarau dan Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi - KBR Prime https://www.kbrprime.id/ Diakses tanggal 19 Juni 2020

Monday, June 1, 2020

Bersinergi Mewujudkan Pelestarian #AirUntukKehidupan di Masa Pandemi

New Normal, dua kata yang akan sangat sering didengar akhir-akhir ini. Entah sebagai bentuk positif ataupun justru terlalu optimis ingin bisa melanjutkan kehidupan “normal” di tengah pandemi covid19 yang sampai sekarang belum ada titik terangnya di Indonesia. Kurva covid19 yang terus meningkat, anjuran physical distancing yang tidak seefektif awal-awal ditetapkan. Hingga pelanggaran lainnya karena rasa bosan #dirumahaja dan desakan ekonomi sehingga banyak warga yang tidak mengindahkan anjuran pemerintah. Belum lagi sudah banyak para nakes yang tumbang karena positif terpapar covid19.

Saya pribadi tidak bisa membayangkan apabila terus begini kondisinya. Ekonomi yang sudah jalan merangkak, para pengusaha yang merumahkan banyak karyawannya dan menjual asset sampai miliaran rupiah. Belum lagi kalau bertemu kondisi sulit lainnya pasti keadaan jadi jauh tidak lebih mudah. Salah satu contohnya seperti perubahan iklim dari musim penghujan ke kemarau. Nah mumpung sekarang masih awal Juni, sekitar 3 bulanan lagi akan bertemu dengan bulan September yang  konon katanya punya kepanjangan “Sat-satnya sumber” alias sumber yang mengering .

Baca juga:

Menuju 100% target air bersih dan sanitasi sehat 2019

Bertepatan dengan menghadapi era New Normal, semoga saat itu juga kondisinya lebih baik dari kondisi sekarang. Maka harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi musim kemarau di era pasca atau masih dalam pandemi covid19. Ada beberapa kiat yang bisa dilakukan untuk menyiapkan diri menghadapi musim kemarau. Pun saya berkesempatan mengikuti talkshow Ruang Publik yang diselenggarakan oleh KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) untuk berbagi inspirasi dengan serial perubahan iklim mengenai #AiruntukKehidupan berjudul “Antisipasi ancaman bencana kekeringan 2020” pada tanggal 22 Mei lalu. Penjelasan yang begitu detail dan jelas diberikan oleh dua narasumber super keren, yaitu Bapak Muhammad Reza sebagai Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan Cak Purwanto dari Kelompok Masyarakat Peduli Air yang tergabung di Yayasan Air Kita Jombang, Jawa Timur.

Bagaimana kondisi air bersih di Indonesia?

Berdasarkan hasil pemodelan KLHS Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, tutupan hutan diperkirakan berkurang menjadi 38% di tahun 2045 dari 50 persen luas lahan total Indonesia di tahun 2017. Hal tersebut yang akan semakin memicu terjadinya kelangkaan air, khususnya pada wilayah dengan tutupan hutan sangat rendah seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Proporsi luas wilayah krisis air secara nasional diproyeksikan akan meningkat menjadi 9.6% di tahun 2045. Hal ini akibat ketidakseimbangan neraca air karena kondisi daerah hulu tangkapan air yang kritis serta eksplorasi air tanah yang berlebihan terutama di daerah perkotaan. Krisis air diprediksi dapat mengancam hampir 10% wilayah Indonesia yang setara dengan dua kali luas pulau Jawa. Kritisnya kuantitas air juga disertai dengan menurunnya kualitas air secara signifikan.

Salah satu masalah kekeringan terjadi di Jombang, Jawa Timur. Dari waktu ke waktu minimal terhadap 6 kecamatan di Jombang setiap tahunnya dinyatakan krisis air bersih. Cak Purwanto dari Yayasan Air Kita Jombang, Jawa Timur menjelaskan bahwa ada ada 3 faktor yang memberikan pengaruh besar terjadinya kekeringan di Jombang.

Faktor pertama, secara global perubahan iklim memberikan pengaruh terjadinya kekeringan di Jombang. Perubahan ikim ini tidak secara alamiah namun ada kaitannya dengan aktivitas manusia yang merubah bentang alam. Seperti perusakan tampungan air alami untuk kegiatan industry guna mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga keseimbangan lingkungan terganggu. 

Faktor kedua, dilihat dari faktor geologi Jombang yaitu faktor kondisi tanah di daerah yang mengalami kekeringan.

Faktor ketiga, oknum yang merusak lingkungan. Terutama adanya kerusakan hutan yang berpengaruh pada sumber mata air di daerah-daerah yang kekeringan tersebut.

Bapak Reza dari KRuHA pun berbagi pandangan terkait krisis air yang terjadi. Krisis air sudah mengemuka bahkan sejak lama. Tidak hanya dalam satu negara namun sudah mencakup situasi global. Air yang bersifat dinamis dapat mempengaruhi kondisi satu tempat ke tempat lainnya dalam skala yang lebih luas. Hal ini dikarenakan air sebagai penghubung kehidupan, bahkan pulau-pulau pun dihubungkan dengan perairan.

Ada dua pandangan mengenai krisis air yang disampaikan oleh Bapak Reza. Pertama, krisis air yang terjadi karena kelangkaan, Meskipun air diproduksi secara ilmiah oleh alam dan harusnya dengan jumlah tidak berubah karena adanya siklus air. Kedua, krisis air terjadi karena ketidakadilan. Krisis air yang terjadi di Indonesia tentu berbeda dengan krisis air yang terjadi di negara lainnya yang sangat lembab. Pun situasi global juga sangat mempengaruhi krisis air di negara tersebut, termasuk politik air, perilaku masyarakat terhadap air dan juga situasi iklim. Politik air berkaitan dengan cara pandang terhadap krisis air yang terjadi. Krisis air terjadi karena tidak disiplin dalam pemakaian air, sehingga membutuhkan mekanisme pasar atau mekanisme harga untuk mendisiplinkan pemakaian air.

Krisis air dianggap sebagai kesalahan manajemen air, termasuk masalah privatisasi air. Politikasi air yang terjadi termasuk pelanggaran HAM akan penggunaan air. Hal ini karena banyak solusi dan alternatif yang bisa dilakukan namun tidak kunjung ditangani secara serius dan sistematis. Sehingga menyebabkan bencana kekeringan yang sebenernya sudah terjadi berkali-kali. Sebanyak 65% bencana yang terjadi terkait air dan telah terjadi berulang.

Politik mempengaruhi bagaimana air diberlakukan sebagai barang ekonomi ataupun barang sosial. Di Indonesia dengan kondisi relatif lembab dan curah hujan tinggi memiliki jatah air yang sangat besar dan sebenarnya sangat cukup. Jatah air untuk orang Indonesia sebesar 9 kali lipat dari rata-rata jatah air dunia. Namun faktanya, sebanyak 119 juta orang Indonesia yang tidak mendapatkan akses air bersih dan sanitasi. Dampaknya penyakit-penyakit yang membunuh akibat buruknya air sanitasi. Sebanyak 100 ribu anak rata-rata tiap tahun meninggal dan Indonesia menempati tingkat kematian tertinggi di ASEAN. Belum termasuk stunting akibat faktor buruknya air dan sanitasi.

Banyak fakta yang mencengangkan bahwa sejak 2012 Jawa sebagai pusat konsentrasi penduduk paling besar di Indonesia lalu NTT, NTB dan Bali sudah mengalami defisit neraca air dan diperparah oleh aktivitas ekstraktif. Bukan hanya pertambangan mineral yang rakus air namun juga meracuni air karena merombak ekosistem alami air. Hal ini menyebabkan daya tampung rusak namun di sisi lain komersialisasi air tinggi di NTT. Banyak perusahaan dibiarkan menyedot air tanah dan menjual rata-rata dengan harga tinggi. Bapak Reza menyebutkan bahwa di Kupang, pengeluaran untuk air jauh di luar ketentuan sebesar 0.5% per rumah tangga atau bahkan ada sampai yang 60%. 

Sebenarnya mana yang lebih efektif: Bendungan vs Pipanisasi?

Pertambangan pun sudah menjadi isu lama. NTT sebenernya mempunyai cukup air namun distribusi alaminya tidak merata. Sehingga butuh pendekatan kebijakan, artinya daerah yang menyimpan air harus dilindungi tidak dibangun apapun. Sementara untuk daerah yang defisit air bisa dilakukan pendekatan teknologi dengan pipanisasi. Namun pipanisasi di NTT kondisinya masih buruk, namun kondisi pasar air yang sangat tinggi. Belum meratanya akses air bersih ini masih menjadi masalah yang perlu untuk segera diselesaikan. Mengingat bahwa kebebasan terhadap akses air bersih menjadi salah satu pilar penting untuk kehidupan sehat yang berkelanjutan.

Seberapa efektif program 1000 waduk yang dijalankan tahun 2014 oleh Presiden Jokowi dalam mengatasi krisis air yang terjadi?

Bapak Reza mengemukakan bahwa program 1000 waduk justru menjadi sumber masalah yang baru. Saya pun sepakat dengan apa yang dipaparkan karena krisis air yang menyebabkan kekeringan di Indonesia memanglah terjadi karena pengelolaan atau manajemen air yang masih jauh dari kata baik. Bapak Reza pun menuturkan bahwa salah kelola yang terjadi ini dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan yang merupakan hasil praktek pelanggaran HAM yang dilegitimasi dan menyebabkan bencana hidrometerologi dinyatakan olej MK sebagai pelanggaran konstitusi. Sehingga  UU Air No. 7 tahun 2004 dibatalkan oleh MK.

Kebijakan pemerintah justru lebih mengarah ke hidrosentrik, sehingga lebih seperti tukang bangunan air dengan pembangunan waduk-waduk. Daerah-daerah yang mempunyai ketahanan air alami justru dihancurkan dan dibangun waduk. Contoh paling nyata, pegunungan Kendeng di daerah sekitar DAS Juwana yang lebar sungainya sudah banyak menyusut. Tiap tahun selalu terjadi banjir saat musim penghujan dan kekeringan saat musim kemarau. Pegunungan Kendeng sebagai tampungan air alami, salah satunya waduk putih. Namun kondisinya sekarang justru dijadikan sebagai daerah tambang dan sudah dinyatakan MK sebagai bentuk pelanggaran.

Bapak Reza juga menyampaikan bahwa potensi kekeringan dan dampaknya jelas akan lebih parah saat pandemi covid19 seperti sekarang ini. Bencana selanjutnya adalah kebijakan pemerintah yang kurang nyambung dengan kondisi yang terjadi sehingga respon negara kurang tepat sasaran dalam menyelesaikan masalah. Perlu sekali dilakukan koreksi kebijakan untuk menanggapi permasalahan krisis air yang tentunya akan menambah masalah saat kondisi pandemi seperti saat ini.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk lebih siap menghadapi musim kemarau di masa pandemi?

Sebelum melakukan apapun, perlu menanamkan niat untuk bisa sepenuh hati melakukan usaha pelestarian air, apalagi menilik krisis air yang terjadi di masa pendemi sekarang ini pasti akan jadi lebih berat. Banyak hal sederhana yang sebenarnya bisa kita lakukan. #Cukupdarirumah bisa bersinergi membantu pelestarian air guna menghadapi musim kemarau yang akan datang. Hal-hal sederhana pelestarian air selama #stayathome mengacu pada prinsip 4 R, yaitu Reduce, Reuse, Recycle dan Replant.

1. Reduce, yaitu mengurangi pemakaian air dengan menggunakan air sesuai kebutuhan.

Minimalisasi penggunaan air bisa dilakukan dengan tidak membiarkan kran air terus menyala saat mencuci tangan dengan sabun ataupun saat menggosok gigi menggunakan gelas ataupun wadah air dari pada dari kran air secara langsung. Membiarkan kran terus menyala selama 1 menit berarti telah membuang sia-sia 1 galon air. Selain itu, penghematan air juga bisa dilakukan dengan memasang eco-friendly sanitary tools seperti water closet (WC), jet washer ataupun shower sehingga bisa lebih menghemat air dari pada sanitary tools biasanya. Selain itu, penting sekali untuk secara berkala mengecek apakah ada kebocoran pada pipa.

Mencuci dengan menggunakan mesin cuci dapat berperan juga dalam menghemat pemakaian air bersih dibandingkan dengan mencuci manual. Hal ini dikarenakan saat menggunakan mesin cuci bisa diatur penggunaan air sesuai dengan kebutuhan jumlah baju yang dicuci. Namun apabila tetap mencuci manual, pemilihan detergen yang tepat, detergen sekali bilas misalnya, juga bisa mempengaruhi jumlah pemakaian air. DIsarankan untuk memilih detergen yang ramah lingkungan guna menghemat penggunaan air untuk membilas pakaian.

2. Reuse, yaitu menggunakan kembali air yang sekiranya masih bisa digunakan

Prinsip reuse dalam pelestarian air ini bisa dilakukan dengan menggunakan air cucian beras untuk menyiram tanaman. Air cucian beras yang biasanya langsung dibuang ke saluran pembuangan ini faktanya mengandung beberapa nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang kesuburan tanaman. Air cucian beras mengandung 90% karbohidrat yang berupa pati, vitamin, mineral serta beberapa vitamin. Karbohidrat dalam jumlah yang tinggi akan membantu proses terbentuknya hormon pertumbuhan pada tumbuhan, berupa auksin, giberelin dan alarin.

Selain pemanfaatan air cucian beras, saya juga menggunakan air bekas cucian tas/sepatu/baju untuk menyiram halaman depan rumah saat musim kemarau. Penyiraman halaman rumah ini untuk mengurangi potensi debu terbang saat disapu. Saat ini masih banyak orang yang menggunakan air bersih untuk menyiram halaman rumah.

3. Recycle, yaitu melakukan pengolahan terhadap air limbah menjadi layak digunakan

Penggunaan air bekas wudhu yang dialirkan ke kolam filter air dan selanjutnya menuju kolam ikan bisa menjadi penerapan prinsip recycle. Kolam filter air ini cukup diberikan filter air sederhana seperti susunan batu besar, pecahan genting, karbon aktif dan juga sabut kelapa. Sewaktu SMA dulu saya pernah memanfaatkan kulit singkong dan kulit kacang tanah sebagai bahan dasar karbon aktif yang digunakan untuk penjernih air. Penggunaan karbon aktif ini bisa menyerap racun dan juga bakteri yang terkandung dalam air limbah. 

Penerapan prinsip recycle selanjutnya adalah rain water harvesting atau panen air hujan untuk bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari atau bahkan bisa digunakan sebagai air minum. Pemanfaatan air hujan ini bisa menjadi solusi efektif untuk mencegah banjir, kekeringan serta memenuhi kebutuhan akan air yang berkualitas.

Para petani bisa memanen air hujan dengan membuat sumur atau kolam di sekitar lahan pertanian. Nah saat musim kemarau datang, air yang telah ditampung dapat menjadi alternatif untuk sumber pengairan. Prinsip dasar penampungan air hujan adalah dengan mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan atap bangunan melalui talang air untuk dialirkan ke tangki penampung. Limpasan air dari tangki penampung yang telah penuh lalu di salurkan ke sumur resapan.

Cak Purwanto bersama Yayasan Air Kita Jombang juga berfokus dalam pelestarian air, terutama pemanfaatan air hujan. Yayasan Air Kita Jombang, Jatim merupakan lembaga non profit sejak 2017 yang bergerak di bidang keagamaan, sosial, pendidikan non formal untuk anak-anak dengan fokus tujuan utama untuk sosialisasi pemanfaatan air hujan khususnya sebagai air minum. 

Ritual unik yang dilakukan oleh anak-anak Yayasan Air Kita seperti panen air hujan, guna mencegah perubahan iklim serta melestarikan sumber daya air. Yayasan Air Kita termasuk salah satu kelompok yang dalam kurun waktu hampir 4 tahun terakhir terus mensosialisasikan manfaat air hujan untuk air minum. Teman-teman Yayasan Air Kita langsung melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan masuk ke kampung-kampung, sekolah, ataupun kampus.

Yayasan Air Kita membagi masyarakat dalam beberapa kelompok belajar untuk belajar kelompok formal dan kesenian. Terdapat materi tambahan yang diberikan selain materi pokok untuk sekolah. Materi tambahan tersebut khusus untuk membahas pentingnya pelestarian air tanah maupun air hujan. Sudah terbentuk pula kelompok kesenian bernama Republik Air Indonesia. Kelompok ini khusus untuk menyuarakan pentingnya pelestarian lingkungan dan air melalui jalur kesenian wayang beber.  Kegiatan yang dilakukan Yayasan Air Kita lainnya adalah sholawatan air hujan untuk menyuarakan pentingnya air, memanfaatkan air hujan, serta memanfaatkan sebaik-baiknya sumber air dengan bijaksana.

Selain Yayasan Air Kita, ada juga komunitas kandang udan di desa Bunder, Klaten (Jawa Tengah) yang melakukan pengolahan air hujan menjadi air siap minum. Caranya ialah menampung air hujan yang turun langsung dari langit atau air hujan dialirkan dari talang ke bak-bak penampung. Kemudian air hujan disaring dengan busa ataupun kain untuk menghilangkan debu atau kotoran yang tercampur. Cara lain untuk menghilangkan debu atau kotoran dengan mendiamkan air hujan.

Kemudian, air hujan dimasukkan ke dalam dua tabung plastik yang aman digunakan (ada label foodgrade) dan saling terhubung seperti bejana berhubungan. Selanjutnya air di dua tabung dialiri listrik DC (proses elekktrolisis) yang bertujuan untuk mengatur tingkat pH air hujan. Pengolahan air hujan bisa dilihat lebih detail pada video berikut:

4. Replant, yaitu melakukan usaha penanaman untuk memperkaya air dalam tanah

Prinsip replant ini bisa membantu dalam proses recovery kesediaan air tanah yang kian lama kian menipis akibat ulah manusia yang merusak lingkungan. Penanaman pohon ini dimaksudkan agar akar pohon bisa mengikat air dalam tanah dan menjadi daerah resapan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manisa dan makhluk hidup lainnya.

Selain penanaman pohon, pembuatan lubang biopori yang berfungsi sebagai sumur resapan juga bisa memperkaya kesediaan air tanah. Cara membuat lubang biopori ini sangatlah mudah yaitu dengan membuat lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 1 m. Lubang tersebut selanjutnya diisi dengan sampah-sampah organik sehingga selain berfungsi sebagai resapan air, Biopori juga bisa menjadi wadah pembentukan kompos. Kompos yang terbentuk ini kemudian dapat menunjang kehidupan tanah yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Sampah organik yang dapat dikomposkan di dalam biopori diantaranya sampah taman dan kebun berupa dedaunan atau ranting pohon,  dan sampah dapur berupa sisa-sisa sayuran.

Biopori memiliki manfaat untuk menjaga keberadaan air tanah dan kelestarian mata air. Untuk kawasan yang memiliki lahan terbuka yang sempit, pembuatan biopori ini bisa menjadi alternatif penyerapan air hujan guna mencegah terbentuknya genangan. Selain itu biopori juga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme serta makhluk hidup dalam tanah sehingga kesehatan tanah dan perakaran tumbuhan sekitarpun meningkat.

Cak Purwanto juga menyampaikan bahwa untuk bisa tetap melestarikan air perlu adanya sinergi antar semua elemen. Mulai dari masyarakat, komunitas penggerak pelaku pegiat lingkungan sampai pemerintah dan instansi pembuat kebijakan. Harus ada satu titik tengah dan satu komitmen untuk bisa menyelesaikan permasalahan krisis air yang terjadi saat ini.

Last but not least, Bapak Reza menekankan bahwa perubahan paradigma mengenai krisis air sangat penting baik untuk pemerintah ataupun masyarakat. Namun, perubahan perilaku green lifestyle tidak akan memberikan efek yang signifikan jika tidak ada perubahan kebijakan dari pemerintah. Fakta dan data sudah terpampang nyata dengan prediksi yang valid, namun sayangnya belum didukung dengan kebijakan yang ada. Saat ini yang diperlukan adalah tindakan kongkrit di masyarakat yang harapannya bisa memaksa negara untuk berubah. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus merubah pola pembangunan dan pola ekonominya menjadi lebih ramah air. Jangan semua dirusak, dialihfungsikan dan hanya mengejar profit saja.

Sekian, sekelumit cerita dan sharing ilmu yang saya dapatkan setelah mengikuti talkshow ruang publik bersama KBR dan dua narasumber super inspiratif. Semoga bermanfaat dan juga menginspirasi teman-teman untuk terus bersinergi dalam mewujudkan pelestarian #airuntukkehidupan. Pun kita semua bisa lebih siap dan tidak kaget lagi menyambut musim kemarau yang akan datang apalagi di masa pandemi covid-19 seperti sekarang ini. Terus semangat lestarikan air, stay healthy, stay hydrated and stay away from covid19 too!

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Kalian juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa selengkapnya lihat di sini ya. Yuk ikutaan juga, biar makin banyak yang terinspirasi untuk peduli mendukung pelestarian #airuntukkehidupan ~

Referensi: 

Idhom, A.M. 2019. Cara Memanfaatkan Air Hujan, Memanen dan Mengolah Jadi Air Minum. www.tirto.id. diakses pada tanggal 31 Mei 2020

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES