Sore ini begitu menyenangkan. Wifi asrama sudah bisa digunakan lagi. Yeyy, . :D Blogger deh jadinya. Iseng-iseng aku buka file-file yang tersimpan di laptopku. ehh, ternyata aku punya satu cerpen menarik yang patut di share buat teman-teman semua.. Hhhe.. :D Selamat membaca yak.. :D
Hujan Gerimis menari-nari indah jatuh ke bumi. Membawa aroma tanah yang
sangat khas. Membasahi jalan-jalan yang baru saja di aspal. Memberikan
kesegaran pada tanaman dan pepohonan di pinggir-pinggir jalan. Hujan
memang selalu memberi berkah pada setiap khalifah di bumi.
Sore itu sejuk sekali. Ditambah lagi hujan gerimis yang menyapa dengan
cerianya. Menambah kenyamanan untuk tinggal di bumi. Melupakan sejenak
tentang isu-isu global warming yang sedang booming akhir-akhir ini.
Di desa kecil ini aku tinggal. Desaku tepat berada di sebelah selatan
kota Madiun atau sering dikenal dengan sebutan Kota Gadis. Aku bangga
lahir di desa ini. Banyak cerita menarik yang terjadi disini. Ibuku
sering bercerita padaku tentang itu semua. Benarlah, agar budaya itu
tetap lestari sampai anak cucuku nanti.
Berbicara tentang budaya membuatku teringat tentang seorang pahlawan
yang menyelamatkan desaku seabad yang lalu. Pahlawan yang tak terlupakan
untuk semua penghuni desa ini. Pahlawan yang menyelamatkan desa ini
dari wabah penyakit yang mematikan.
***
1864 M
Pagi ini desa Mejayan kembali di gemparkan dengan kabar meninggalnya
anak Pak RT. Itu menjadi berita korban ke-16 setelah kemarin 2 warga
lainnya juga meninggal dengan penyakit yang sama. Sungguh
memperihatinkan keadaan desa ini. Banyak warganya yang perlahan-lahan
meninggal karena penyakit misterius mewabah sejak sebulan lalu.
Penyakit itu sungguh aneh, ketika
siang sakit sore hari meninggal dunia atau pagi sakit malam hari
meninggal dunia. Hal itu semakin meresahkan warga. Semuanya khawatir
kalau penyakit itu mengenai keluarga atau kerabat dekatnya.
Dalam kesedihannya, Raden Prawirodipuro sebagai pemimpin rakyat Mejayan
mencoba merenungkan metode atau solusi penyelesaian atas wabah penyakit
yang menimpa rakyatnya. Praworodipuro akhirnya memutuskan untuk
renungan, meditasi dan bertapa di wilayah Gunung Kidul Caruban.
***
Prawirodipuro memutuskan mencari wangsit ke Gunung Kidul Caruban.
Tekadnya bulat ingin menyelesaikan masalah penyakit mematikan yang
menyerang warganya. Dua hari dua malam ia bertapa di gunung itu. Namun
belum juga ia mendapatkan wangsit yang diharapkan.
Beruntungnya di hari ketiga kesempatan itu terbuka. Yang Memberi
Kehidupan akhirnya luluh akan kesabaran Prawirodipuro. Wangsit itu ia
dapatkan. Wangsit itu menggambarkan pasukan gondoruwo menyerang penduduk
desa Mejayan. Pasukan Genderuwo itulah pembawa wabah penyakit
mematikan yang meresahkan warga Mejayan.Dalam tapanya Prawirodipuro
diberikan petunjuk bahwa pasukan Genderuwo dapat diusir dengan
menggiring mereka keluar dari desa Mejayan.
“Aku harus segera pecahkan masalah ini. Kalau tidak semakin banyak yang akan menjadi korban” tuturnya dalam hati.
Akhirnya Prawirodipuro pulang kembali ke desa Mejayan. Disana warganya
sudah menunggu kedatanggannya. Berharap-harap cemas, takut kalau
pemimpin desanya juga menjadi korban keganasan penyakit itu.
***
Sore setelah kepulangan Prawirodipuro, seluruh warga desa Mejayan
berkumpul di Balai desa. Mereka semua tampak serius membahas tentang
wangsit yang Prawirodipuro dapatkan dari Gunung Kidul Caruban.
“Selamat malam seluruh rakyatku”
“Selamat malam Raden”
“Kita disini akan membahas tentang hal-hal apa saja yang harus kita
lakukan untuk memberantas wabah penyakit mematikan yang sudah meresahkan
desa kita akhir-akhir ini”
“Nggih1 Raden” jawab salah seorang warga
“Menurut wangsit yang saya dapat kita harus melakukan sesuatu untuk
bisa menggiring para penyebar penyakit itu keluar dari desa kita” jelas
Prawirodipuro meyakinkan.
Para Warga bingung mendengar penjelasan Prawirodipuro. Namun, salah
seorang warga disana ternyata paham dan langsung angkat bicara.
“Apakah maksud Raden wabah penyakit itu berhubungan dengan hal mistis
seperti Gondoruwo ?” tanya seorang Kakek terbata-bata.
Prawirodipuro hanya mengangguk. Warga lainnya mulai gaduh. Tak
menyangka ternyata penyakit mematikan itu berhubungan dengan roh halus.
“Menurut penelusuran saya, Gondoruwo itu takut pada hal-hal yang ramai dan gaduh” ucap warga lainnya.
“Benar. Saya juga berpikiran seperti itu” jawab Prawirodipuro.
“Bagaimana jika kita menciptakan satu kesenian untuk mengusir roh halus itu ?” ucap Prawirodipuro lagi.
Warga
saling berpandangan satu sama lain. Mereka berpikir dan mulai bertukar
pendapat tentang rencana Prawirodipuro dalam pengusiran roh halus keluar
dari desa Mejayan. Dengan perundingan yang rumit dan banyak perdebatan
maka diputuskan dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi
pengusiran roh halus yang membawa pagebluk2 tersebut.
***
Segala persiapan akhirnya selesai. Hari pembalasan itu tiba. Para warga
sudah siap dengan alat tempurnya masing-masing. Ada yang membawa beduk,
kendang ataupun alat musik korek3. Mereka tampak bersemangat sekali hari itu.
Dung…dung…dung krek..
Dung krek..
Dung krek…
Musik
mulai dimainkan. Orang tua sakti, barisan buto kolo, dan kedua
perempuan tua paruh baya mulai membentuk formasi. Para perempuan berada
dalam posisi lemah sedang dikepung oleh para pasukan buto kolo4
yang ingin membunuh perempuan tersebut. Tiba-tiba muncul sesosok lelaki
tua dengan tongkatnya mengusir para barisan roh halus tersebut untuk
menjauh dari para perempuan paruh baya.
Cerita
berlanjut lebih menarik lagi. Peperangan berlangsung cukup sengit,
pertarungan antar rombongan buto kolo dengan orang tua sakti akhirnya
dimenangkan oleh orang tua sakti. Orang tua tersebut berhasil
menyelamatkan kedua perempuan dari ancaman para buto kolo dan kemudian
rombongan buto kolo itu mengikuti dan patuh terhadap kehendak orang tua
sakti. Orang tua sakti didampingi dua perempuan itu menggiring pasukan
buto kolo keluar dari desa Mejayan.
***
Pagi ini seluruh warga bersorak-sorai. Keceriaan dan kepuasan terpancar di raut wajah mereka. Setelah kemarin acara arakan5
kesenian keliling desa Mejayan, tak ada lagi berita korban kematian
akibat wabah menyakit mematikan lagi. Pagebluk yang menyerang rakyat
desa Mejayan akhirnya lunas hilang tak terbekas.
Seluruh warga akhirnya sepakat menjadikan kesenian itu menjadi tradisi
dan ciri kebudayaan masyarakat Mejayan. Dari bunyi ‘dung’ pada kendang
dan ‘krek’ pada alat musik korek akhirnya kesenian ini disebut dengan
Dongkrek.
***
Keterangan :