Dong-Krek
           
 Hujan Gerimis menari-nari indah jatuh ke bumi. Membawa aroma tanah yang
 sangat khas. Membasahi jalan-jalan yang baru saja di aspal. Memberikan 
kesegaran pada tanaman dan pepohonan di pinggir-pinggir jalan. Hujan 
memang selalu memberi berkah pada setiap khalifah di bumi.
           
 Sore itu sejuk sekali. Ditambah lagi hujan gerimis yang menyapa dengan 
cerianya. Menambah kenyamanan untuk tinggal di bumi. Melupakan sejenak 
tentang isu-isu global warming yang sedang booming akhir-akhir ini.
           
 Di desa kecil ini aku tinggal. Desaku tepat berada di sebelah selatan 
kota Madiun atau sering dikenal dengan sebutan Kota Gadis. Aku bangga 
lahir di desa ini. Banyak cerita menarik yang terjadi disini. Ibuku 
sering bercerita padaku tentang itu semua. Benarlah, agar budaya itu 
tetap lestari sampai anak cucuku nanti.
           
 Berbicara tentang budaya membuatku teringat tentang seorang pahlawan 
yang menyelamatkan desaku seabad yang lalu. Pahlawan yang tak terlupakan
 untuk semua penghuni desa ini.  Pahlawan yang menyelamatkan desa ini 
dari wabah penyakit yang mematikan. 
***
1864 M
           
 Pagi ini desa Mejayan kembali di gemparkan dengan kabar meninggalnya 
anak Pak RT. Itu menjadi berita korban ke-16 setelah kemarin 2 warga 
lainnya juga meninggal dengan penyakit yang sama. Sungguh 
memperihatinkan keadaan desa ini. Banyak warganya yang perlahan-lahan 
meninggal karena penyakit misterius mewabah sejak sebulan lalu. 
            Penyakit itu sungguh aneh, ketika
 siang sakit sore hari meninggal dunia atau pagi sakit malam hari 
meninggal dunia. Hal itu semakin meresahkan warga. Semuanya khawatir 
kalau penyakit itu mengenai keluarga atau kerabat dekatnya.
           
 Dalam kesedihannya, Raden Prawirodipuro sebagai pemimpin rakyat Mejayan
 mencoba merenungkan metode atau solusi penyelesaian atas wabah penyakit
 yang menimpa rakyatnya. Praworodipuro akhirnya memutuskan untuk 
renungan, meditasi dan bertapa di wilayah Gunung Kidul Caruban. 
***
           
 Prawirodipuro memutuskan mencari wangsit ke Gunung Kidul Caruban. 
Tekadnya bulat ingin menyelesaikan masalah penyakit mematikan yang 
menyerang warganya. Dua hari dua malam ia bertapa di gunung itu. Namun 
belum juga ia mendapatkan wangsit yang diharapkan.
           
 Beruntungnya di hari ketiga kesempatan itu terbuka. Yang Memberi 
Kehidupan akhirnya luluh akan kesabaran Prawirodipuro. Wangsit itu ia 
dapatkan. Wangsit itu menggambarkan pasukan gondoruwo menyerang penduduk
 desa Mejayan.  Pasukan Genderuwo itulah pembawa wabah penyakit 
mematikan yang meresahkan warga Mejayan.Dalam tapanya Prawirodipuro 
diberikan petunjuk bahwa pasukan Genderuwo dapat diusir dengan 
menggiring mereka keluar dari desa Mejayan.
            “Aku harus segera pecahkan masalah ini. Kalau tidak semakin banyak yang akan menjadi korban” tuturnya dalam hati.
           
 Akhirnya Prawirodipuro pulang kembali ke desa Mejayan. Disana warganya 
sudah menunggu kedatanggannya. Berharap-harap cemas, takut kalau 
pemimpin desanya juga menjadi korban keganasan penyakit itu.
***
           
 Sore setelah kepulangan Prawirodipuro, seluruh warga desa Mejayan 
berkumpul di Balai desa. Mereka semua tampak serius membahas tentang 
wangsit yang Prawirodipuro dapatkan dari Gunung Kidul Caruban.
            “Selamat malam seluruh rakyatku”
            “Selamat malam Raden”
           
 “Kita disini akan membahas tentang hal-hal apa saja yang harus kita 
lakukan untuk memberantas wabah penyakit mematikan yang sudah meresahkan
 desa kita akhir-akhir ini”
            “Nggih1 Raden” jawab salah seorang warga
           
 “Menurut wangsit yang saya dapat kita harus melakukan sesuatu untuk 
bisa menggiring para penyebar penyakit itu keluar dari desa kita” jelas 
Prawirodipuro meyakinkan.
           
 Para Warga bingung mendengar penjelasan Prawirodipuro. Namun, salah 
seorang warga disana ternyata paham dan langsung angkat bicara.
           
 “Apakah maksud Raden wabah penyakit itu berhubungan dengan hal mistis 
seperti Gondoruwo ?” tanya seorang Kakek terbata-bata.
           
 Prawirodipuro hanya mengangguk. Warga lainnya mulai gaduh. Tak 
menyangka ternyata penyakit mematikan itu berhubungan dengan roh halus.
            “Menurut penelusuran saya, Gondoruwo itu takut pada hal-hal yang ramai dan gaduh” ucap warga lainnya.
            “Benar. Saya juga berpikiran seperti itu” jawab Prawirodipuro.
            “Bagaimana jika kita menciptakan satu kesenian untuk mengusir roh halus itu ?” ucap Prawirodipuro lagi.
Warga
 saling berpandangan satu sama lain. Mereka berpikir dan mulai bertukar 
pendapat tentang rencana Prawirodipuro dalam pengusiran roh halus keluar
 dari desa Mejayan. Dengan perundingan yang rumit dan banyak perdebatan 
maka diputuskan dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi 
pengusiran roh halus yang membawa pagebluk2 tersebut.  
***
           
 Segala persiapan akhirnya selesai. Hari pembalasan itu tiba. Para warga
 sudah siap dengan alat tempurnya masing-masing. Ada yang membawa beduk,
 kendang ataupun alat musik korek3. Mereka tampak bersemangat sekali hari itu.
            Dung…dung…dung krek..
            Dung krek..
            Dung krek…
             Musik
 mulai dimainkan. Orang tua sakti, barisan buto kolo, dan kedua 
perempuan tua paruh baya mulai membentuk formasi.  Para perempuan berada
 dalam posisi lemah sedang dikepung oleh para pasukan buto kolo4
 yang ingin membunuh perempuan tersebut. Tiba-tiba muncul sesosok lelaki
 tua dengan tongkatnya mengusir para barisan roh halus tersebut untuk 
menjauh dari para perempuan paruh baya. 
Cerita
 berlanjut lebih menarik lagi. Peperangan berlangsung cukup sengit, 
pertarungan antar rombongan buto kolo dengan orang tua sakti akhirnya 
dimenangkan oleh orang tua sakti. Orang tua tersebut berhasil 
menyelamatkan kedua perempuan dari ancaman para buto kolo  dan kemudian 
rombongan buto kolo itu mengikuti dan patuh terhadap kehendak orang tua 
sakti. Orang tua sakti didampingi dua perempuan itu menggiring pasukan 
buto kolo keluar dari desa Mejayan.
***
Pagi ini seluruh warga bersorak-sorai. Keceriaan dan kepuasan terpancar di raut wajah mereka. Setelah kemarin acara arakan5
 kesenian keliling desa Mejayan, tak ada lagi berita korban kematian 
akibat wabah menyakit mematikan lagi. Pagebluk yang menyerang rakyat 
desa Mejayan akhirnya lunas hilang tak terbekas. 
           
 Seluruh warga akhirnya sepakat menjadikan kesenian itu menjadi tradisi 
dan ciri kebudayaan masyarakat Mejayan.  Dari bunyi ‘dung’ pada kendang 
dan ‘krek’ pada alat musik korek akhirnya kesenian ini disebut dengan 
Dongkrek.
***
Keterangan :
No comments:
Post a Comment